Radikalisme di Sekolah Non Ma’arif Menjadi PR IPNU dan IPPNU
Radikalisme dewasa ini diartikan sebagai paham yang berbahaya dan mengancam kedaulatan Negara karena orang-orang yang terjangkit paham radikalisme cenderung berkeinginan untuk mengganti atau merubah dasar Negara, kostitusi, sistem pemerintahan, dan bentuk Negara. Dengan demikian harusnya Negara dan warga Negara ikut serta dalam menghambat atau bahkan memberantas paham radikalisme yang beresiko menghancurkan Negara.
Meskipun sudah banyak usaha untuk memberantas radikalisme dan paham ekstrem lainya pada kenyataan di lapangan masih banyak sektor-sektor yang beresiko terpapar paham radikalisme. Salah satu sektor yang menghawatirkan adalah sector pendidikan karena di sekolahan-sekolahan negri dan swasta di ketahui masih banyak di jumpai yang namanya radikalisme, dan ini sangat menghawatirkan karena sekolahan merupakan tingkat pengajaran paling awal dan sekolahan juga menjadi tempat yang intensitas bersosial dan berkumpunya paling tinggi untuk anak-anak penerus bangsa di tingkat wilayah paling dasar yaitu di desa maupun kecamatan.
Diketahui dalam beberapa survey tingkat radikalisme di sekolahan sangat menghawatirkan, diantaranya adalah yang diungkapkan mentri agama (menag) Fachrul razi dalam wawancara bersama cnn yang mengutip survey dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) yang menyatakan 52 persen pelajar setuju dengan aksi radikalisme. Survei itu pernah dipublikasikan pada tahun 2010 hingga 2011. "Tingginya tingkat kesetujuan kaum pelajar akan aksi atau tindakan radikal memasuki angka yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian bahwa hampir 52 persen pelajar menyetujui aksi atau tindakan radikal di Indonesia," kata Menag dalam wawancaranya bersama cnn.
Survei itu mencatat hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Sebanyak 52,3 persen siswa setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 persen membenarkan serangan bom. Survei tersebut juga menyebut 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak lagi relevan. Kemudian data juga merekam ada 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Dan di temukan juga beberapa siswa di sekolah terpapar paham radikalisme di daerah Jawa Tengah. Disampaikan oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Haerudin dalam wawancaranya dengan tribunnews mengungkapkan beberapa siswa dan guru di jawa tengah terpapar radikalisme. "ada beberapa temuan yang mengindikasikan siswa atau guru terpapar radikalisme. Misalnya ada pelajar SMP di Karanganyar tidak mau hormat bendera, kemudian ada SMK di Slawi yang mewajibkan siswinya menggunakan cadar," kata Haerudin.
Haerudin menegaskan, nilai-nilai dalam Pancasila merupakan pedoman masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Maka, menerapkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda merupakan tanggung jawab bersama. Tantangan yang dihadapi saat ini yakni bagaimana dapat mengimplementasikan Pancasila secara utuh dalam tingkah laku hidup bermasyarakat. Diakuinya, sempat menemukan adanya pengibaran bendera yang diduga bendera HTI oleh anggota rohis SMK di Sragen, dan tindakan intimidasi bagi siswi yang tidak berhijab di SMK Sragen.
Dengan beberapa survey diatas dapat di ketahui bahwa tingkat paparan radikalisme di sekolah sangat mengkhawatirkan dan tindak pencegahan di sector pendidikan khususnya di sekolah harus menjadi perhatian utama, tindak pencegahan dan upaya untuk mereduksi atau membersihkan paham radikalisme ini bukan Cuma tanggung jawab pemerintah tapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat karena masyarakat juga memiliki tangung jawab dalam menjaga kedaulatan Negara republik Indonesia.
usaha merekduksi radikalisme oleh masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan yang memiliki nasionalisme yang tinggi dan sepaham dengan pancasila, khususnya organisasi yang memiliki segmentasi atau wilayah kerja di tingkat pelajar atau siswa. Dalam ini salah satu contohnya adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) da Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang memang dewasa sudah menunjukan komitmen dalam memperjuangkan cita-cita Negara dan menjaga kedaulatan Negara republik Indonesia sebagai garda terdepan dan ujung tombak dalam mendidik penerus bangsa di tingkatan sekolah.
Namun dewasa ini Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) cenderung lebih fokus dalam menggarap kaderisasi di tingkat ranting dan tidak terlalu memperhatikan kaderisasi di ranah sekolah khususnya sekolah-sekolah non ma’arif yaitu sekolah negri atau sekolah di luar afiliasi LP MA’ARIF NU. Karna notabene sekolah negri atau non Ma,arif sangat sulit untuk di masuki oleh organisasi-organisasi kemasyarakat seperti NU, Muhamadiyah dll.
Sedangkan dalam hal ini yang menjadi inkubataor atau sarang radikalisme untuk berkembang lebih banyak di sekolah-sekolah negri dan swasta di luar afiliasi LP MA’ARIF NU. Oleh karena itu IPNU dan IPPNU harus menambahi titik fokus kaderisasinya tanpa meninggalkan lahan garapan yang sudah berjalan yaitu ranting dan juga komisariat di sekolah yang berafiliasi dengan LP MA’ARIF NU.
IPNU dan IPPNU harus mulai menggarap lahan sekolah-sekolah negri untuk mencegah paham radikalisme semakin mencuat dan kerkembang biak di kalangan pelajar. Seperti yang di ungkapkan oleh jajaran PBNU mengenai permasalah radikalisme di sekolahan ini dan mendorong kepada IPNU dan IPPNU untuk kembali fokus menggarap lahan kaderisasi di ranah sekolah non ma’arif atau sekolah negri dan swasta untuk mencegah dan mereduksi paham radikalisme menyerang para pelajar yang notabene adalah tangga awal pendidikan untuk menjadi penerus bangsa yang selanjutnya.
(Ahmad/Kholis)
Belum ada Komentar untuk "Radikalisme di Sekolah Non Ma’arif Menjadi PR IPNU dan IPPNU"
Posting Komentar